Selasa, April 01, 2008

Akankah Hutan Adat Loksado Menangis?

Potensi Alam Hutan Loksado, Kalimantan Selatan.
Oleh Rudy R UdurDirektur Program YCHI – Banjarbaru
Dirampok di Tanah Sendiri
Kalimantan merupakan daerah dengan kekayaan hayati yang mengagumkan. Sedikitnya ada 11.000 spesies bunga: 10 genre dan 270 Dipterocarpaceae, 221 spesies binatang buas, termasuk 92 jenis kelelawar, 15 spesies mamalia laut, 14 jenis primata, dan 549 spesies burung (Muller, 1990:23; Cleary and Eaton, 1992: 18-192). Namun, kekayaan hayati yang dimiliki ini belum dimanfaatkan secara optimal tetapi sudah ada yang mencuri. Misalnya, Kosmetika Jepang dengan Merk Sheseido mematenkan 9 bahan obat-obatan dari Indonesia yang salah satunya digunakan untuk perawatan kulit. Baru-baru ini, Yayasan Balikpapan Orang Utan Survival (BOS) memaparkan penemuannya berupa manggis hutan Barito yang dapat digunakan sebagai obat AIDS ditemukan oleh seorang mahasiswa Amerika, pada tahun 1992. Namun, habitat manggis hutan itu sekarang ternyata telah dibabat oleh perusahaan HPH.
Dalam UUD 1945 pasal 33, seharusnya air, udara, dan tanah dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, namun sampai saat ini perimbangan manfaat lebih banyak dinikmati oleh pengusaha atau pihak lain yang melakukan eksploitasi kekayaan sumberdaya alam. Masyarakat masih dibiarkan menjadi penonton. Pengalaman perkebunan sawit di Kecamatan Manismata, Marau, dan Jalai Hulu ternyata mengakibatkan wabah belalang yang merusak ribuan hektar padi. Penyebab wabah belalang ini adalah kehancuran habitat hutan tempat berkembang biak dan musnahnya musuh alami belalang tersebut mati karena hutan dibabat untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit. Banuak kasus HTI (Hutan Tanaman Industri) dan HPH (Hak Pengusaha Hutan) telah merambah tanah tanah kawasan Adat, yang menurut pemerintah selama ini adalah hutan negara yang boleh diapakan saja oleh pemerintah tanpa memandang: keberadaan tata guna lahan (land use) dan sistem penguasaan tanah (land tenure) yang telah dipakai masyarakat setempat secara turun temurun tanpa adanya konflik yang berarti (Tim Studi YCHI, Hegar Wahyu Hidayat – Damang Udas – Ayal Kosal: 2003). Intimidasi dilakukan oleh pemerintah dengan aparat keamanan kepada rakyat yang tidak setuju dengan perkebunan skala besar HTI ataupun HPH terjadi di banyak wilayah Kalimantan.
Wilayah Balai Malaris, Loa Panggang, Haratai, dan Waja, secara keseluruhan, nilai penting dari kawasan adatnya adalah sebagai sumber potensi ekonomi, setidaknya ada 62 jenis tanaman, sebagai sumber makanan setidaknya ada 89 jenis tanaman, sebagai sumber bahan bangunan setidaknya ada 64 jenis tanaman, sebagai sumber penunjang kegiatan rumah tangga setidaknya ada 42 jenis tanaman, sebagai sumber kerajinan ada 25 jenis tanaman potensial, sebagai pendukung upacara adat disediakan setidaknya 9 jenis tanaman, dan untuk keperluan lainnya diperoleh setidaknya 9 jenis tanaman. Semuanya bersumber dari 41 jenis akar, 36 jenis daun, 82 jenis batang, 5 jenis getah, 11 jenis kulit, 72 jenis buah dan 1 jenis fungsi secara tidak langsung (Tim Studi Land Use dan Potensi YCHI – Masyarakat Malaris - Loa Panggang, Haratai – Waja: 2003).
Salah Urus Sumberdaya Alam Hutan Kalimantan
Menurut tim Studi YCHI, kerusakan hutan dan pembagian manfaat yang adil (Equity Sharing benefit) karena sistem pengelolaan yang diatur oleh berbagai macam kebijakan pemerintah belum memberikan peluang yang cukup lebar terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan tidak adanya penghargaan terhadap sistem pengelolaan hutan masyarakat adat yang telah terbukti di beberapa kawasan Kalimantan Selatan. Khususnya, kawasan Balai Malaris dapat mempertahankan keberadaan luas kawasan berhutan tidak menimbulkan konflik yang kontraproduktif terhadap keberadaan hutan dan sosio-kultural masyarakat. Misalnya, dari hasil groundcheck Tim Studi land use YCHI sangat jelas terlihat adanya patok hutan lindung (dari danan DAK – DR) pada kawasan produksi masyarakat, misalnya, pada kawasan perladangan. Padahal, dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, sangat jelas dikatakan bahwa kawasan hutan lindung tidak boleh dimanfaatkan untuk hal-hal yang mengganggu keseimbangan ekosistem, apalagi perladangan. Penentuan status kawasan semacam ini mengindikasikan bahwa penerapan kawasan lindung tidak melalui proses konsultasi dan membangun kesepakatan dengan masyarakat. Jauh sekali adanya proses penetapan kawasan yang berbasis sistem kelola lokal dan tata guna (land use land tenure).
Di kawasan Balai Malaris dan Loa Panggang serta Balai Haratai, minimal terdapat beberapa penerapan status wilayah menurut mintakat lokal (semacam peruntukan lahan), seperti kawasan pemukiman, kawasan perladangan (pahumaan), kawasan perkebunan (kabun), kabun buah, kayuan (sejenis kawasan lindung setempat), dan kawasan keramat, seperti kuburan dan wilayah-wilayah tertentu yang telah ditetapkan oleh masyarakat dengan aturan-aturan adat tersendiri. Dari hasil survei lapangan dan pemetaan partisipatif yang dilakukan Tim Studi Land Use dan Land Tenure, setelah dilakukan overlay dengan peta kawasan lindung versi pemerintah, ternyata sebagian besar wilayah Balai Malaris dalam status lindung. Namun, pada kenyataannya, kawasan tersebut adalah kawasan produksi, seperti ladang dan kebun karet, menurut versi lokal. Perbedaan peruntukan inilah yang seringkali menimbulkan konflik.
Dalam sistem kepemilikan lahan, masyarakat Balai Malaris, Loa Panggang, Haratai, dan Waja, dapat dikatakan memliliki sistem kepemilikan yang sama berdasarkan warisan, jual beli untuk kawasan produksi, sedangkan kawasan lindung (kayuan hak kepemilikannya adalah komunal berdasarkan wilayah balai masing masing dengan aturan aturan tertentu.
Kawasan Kecamatan Loksado, khususnya Balai Malaris, Loa Panggang, Haratai, dan Balai Waja, pada saat ini, relatif belum terancam kelestarian potensi SDA Hutannya maupun adat istiadat serta upacara-upacara keagamaan yang berhubungan erat dengan pemanfaatan SDA. Relatif hanya penetapan status kawasan lindung yang saat ini berbenturan dengan tata guna lahan masyarakat adat, serta hak kepemilikan dan pengelolaan yang belum dapat disinergikan. Namun, apabila sistem pengelolaan dan hak partisipasi masyarakat dalam hal pengelolaan dan pengambilan manfaat dari pengelolaan SDA hutan di kawasan ini masih mengacu pada aturan negara tanpa ada inisiatif Pemerintah Daerah untuk memulai adanya sistem pengelolaan dan sistem penetapan status kawasan yang berbasis aturan lokal yang dinilai dapat menjamin pemanfaatan SDA yang lestari dan pembagian manfaat (benefit sharing) yang adil antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat, maka hutan adat di kawasan ini berada dalam posisi genting untuk menuju kerusakan. Potensi konflik vertikal akan menjadi semakin besar dan masyarakat adat tetap tidak dapat menikmati harta yang menjadi hak mereka dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan. Kondisi SDA hutan kawasan Loksado yang masih relatif bagus merupakan peluang besar bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Hulu Sungai Selatan untuk menjadi pioner dalam mengambil inisiatif adanya ‘model pengelolaan hutan berbasis aturan lokal di Kalimantan Selatan,” yang menjamin adanya pemanfaatan SDA Hutan yang lestari dan pembagian manfaat yang adil. Untuk mewujudkan hal ini, tentu komunikasi, koordinasi, dan interaksi antarpihak-pihak terkait seharusnya bisa seintensif mungkin dilakukan. Kalau tidak…, Hutan Adat di kawasan Loksado akan menangis, seperti di wilayah-wilayah lain di Kalimantan.

Tidak ada komentar: