Pertambangan Cuma Menyisakan Kerusakan Lingkungan
KOmpas Kamis, 18 Desember 2003MALAM gelap tanpa ada penerangan listrik PLN di suatu perkampungan tambang batu bara di kawasan Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Kampung itu dari Kotabaru harus dijangkau lewat laut dengan menggunakan speedboat selama dua jam lebih.
KOMPAS terpaksa bermalam di rumah seorang makelar tanah untuk tambang batu bara ilegal. Sejak pagi, sang makelar dengan sepeda motornya membawa Kompas menembus jalan becek di hutan untuk melihat-lihat penambangan batu bara ilegal.
Sang makelar juga mengajak menelusuri perbukitan yang diyakini merupakan jalur batu bara kualitas tinggi. Jalur batu bara yang lahannya milik warga itu ditawarkan Rp 25 juta sampai Rp 50 juta saja untuk ditambang secara ilegal.
"Adik tadi sudah melihat deposit batu bara di sini, saya harap Adik bisa ikut investasi dengan kami," kata sang makelar. Selain menawarkan tanah, dia juga menawarkan keanggotaan kelompok untuk mengelola tambang ilegal.
Tak henti-hentinya sang makelar meyakinkan bisnis bersamanya akan aman. Selain aman, keuntungan yang diraih sudah pasti. Bayangkan, dengan modal Rp 25 juta untuk membeli tanah per hektar nantinya setelah ditambang akan mendapat fee dari penjualan batu bara hingga Rp 200 juta.
Keuntungan itu sungguh menggiurkan dibandingkan dengan jika tanah tersebut diserahkan ke PT Arutmin Indonesia. Arutmin merupakan perusahaan pertambangan resmi pemegang izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Arutmin hanya memberi "santunan" kepada pemilik lahan Rp 9 juta per hektar, baik ada tanaman di atasnya maupun tidak. Arutmin dalam kontrak dengan pemerintah memang tidak diperbolehkan menjalankan sistem fee kepada pemilik lahan seperti yang dilakukan penambang liar.
Sang makelar juga menceritakan, berubahnya wajah desa setelah para penduduknya terlibat penambangan liar. Tempat ibadah dan sekolah kini berdiri layak. Jalan desa kini terbuka dan pembangunan pun berjalan lancar tanpa campur tangan pemerintah.
Bisnis penambangan tersebut memang ilegal dari sisi hukum. Namun, sang makelar menegaskan, bisnis itu dijalankan secara "adil" karena membagi kekayaan sumber daya alam yang dimiliki kampungnya secara lebih layak dibandingkan dengan mengikuti ketentuan PKP2B.
Berpuluh-puluh tahun penambang resmi menguras kekayaan bumi, tetapi tak memberi imbas bagi warga kampung. Pilihan penambangan liar seolah "balas dendam" atas tak diperhatikannya warga lokal. Penambangan liar menjadi harapan terakhir rakyat jelata memperbaiki nasib.
PENAMBANGAN liar memang menciptakan infrastruktur yang menggurita dan kokoh sehingga leluasa beroperasi. Berkat infrastruktur raksasa, Kalsel telah dinobatkan sebagai daerah penghasil batu bara ilegal yang terbesar di dunia.
Infrastruktur itu berupa jaringan informal mereka yang berawal dari warga pemilik lahan, makelar, pembeli tanah, perusahaan alat berat, penambang liar murni, penambang pemegang izin Kuasa Pertambangan (KP), para preman untuk keamanan lokasi, pekerja tambang, puluhan pelabuhan ilegal, pemilik kapal, trader (pedagang), hingga perusahaan- perusahaan pembeli (penampung). Selain itu, tentu saja ada beking dari invisible hand (tangan tak terlihat).
Praktik mereka semakin menarik karena kini para trader mengoplos bahan batu bara legal dengan batu bara ilegal secara canggih. Berkat para trader itu, nama "Batulicin Coal" yang dikenal murah-hasil praktik oplosan-kini tidak hanya dikenal perusahaan besar di Indonesia, melainkan juga di dunia.
Penambangan ilegal, walaupun memberi lapangan pekerjaan kepada warga lokal, telah merugikan negara lebih dari Rp 513 miliar, yang merupakan royalti 13,5 persen ke negara (dari tahun 1999 hingga 2003). Diandaikan produksi penambangan liar itu dibagikan gratis untuk tiga juta penduduk Kalsel, masing-masing warga bisa mendapat Rp 1,3 juta/orang.
Produksi penambangan batu bara ilegal memang fantastis. Tahun 1999 hingga April 2003, di Senakin Kotabaru, Kalsel, saja mencapai 4,6 juta ton, setara 115 juta dollar AS. Seluruh Kalsel produksinya empat kali Senakin atau 460 juta dollar AS sehingga total sekitar Rp 3,8 triliun.
Gubernur Kalsel Sjachriel Darham mengakui, penambangan tanpa izin (Peti) menimbulkan kerugian yang amat besar bagi Kalsel. Selain itu, Kalsel juga harus mewarisi bekas galian penambangan yang tanpa reklamasi. Padahal, untuk mereklamasi bekas galian itu butuh dana tak kurang dari Rp 3,4 triliun.
"Saya bingung siapa yang harus bertanggung jawab mereklamasi bekas galian itu. Saya sudah usulkan dana itu ke pemerintah pusat, tetapi belum dikabulkan juga," katanya.
Sjachriel mengakui, maraknya penambangan liar salah satunya dipicu oleh pemberian izin Kuasa Pertambangan (KP) yang tidak sesuai standar prosedur. "Bupati-bupati banyak memberikan KP tanpa meneliti secara saksama. Dengan mudah mereka mengeluarkan izin-izin skala kecil itu," ungkapnya.
BERKALI-kali Kepala Polda Kalsel Brigadir Jenderal (Pol) Dodi Sumantyawan menegaskan komitmennya untuk memberantas penambangan liar. Bahkan, selain operasi rutin, Polda Kalsel juga membentuk Satuan Tugas Gabungan Penanggulangan Penambangan Tanpa Izin.
Hasilnya, puluhan pelaku dibekuk dan jumlah penambang liar pun berkurang. Selain dari polda, sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah daerah untuk membekuk jaringan penambangan liar. Sayangnya, hanya sedikit pemda yang melakukan hal tersebut.
Dari sekian pemda yang mempunyai problem pertambangan, hanya Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) yang berani mengeluarkan kebijakan. Bupati HSS Muhammad Sapi’i mengeluarkan surat penghentian sementara (moratorium) penambangan batu bara di daerahnya.
Moratorium ditujukan kepada praktik penambangan yang dilakukan oleh PT Antang Gunung Meratus, pemegang izin PKP2B di HSS. Menurut Sapi’i, perusahaan-perusahaan tersebut telah memicu timbulnya penambangan liar yang tidak sesuai kaidah pertambangan yang baik.
"Perusahaan ini mensubkontrakkan penambangan kepada KUD. Jadi, dia menyuruh KUD untuk bekerja. Kalau pola ini diterapkan, hancurlah HSS. HSS tidak mendapat apa-apa, lalu di mana tanggung jawab perusahaan?" protesnya.
Perusahaan juga dianggap merusak lingkungan, dan hanya meninggalkan lubang-lubang bekas penambangan. "Empat jembatan dan jalanan juga rusak, belum lagi bekas galian yang belum direklamasi. Kerusakan jembatan lebih Rp 500 juta, sementara yang kita terima paling Rp 50 juta," ungkapnya.
DI Kalimantan Tengah, lain lagi masalahnya. Penambangan emas rakyat umumnya menggunakan bahan kimia berbahaya, merkuri (Hg), untuk melebur butir emas. Tidak kurang dari 65.000 penambang emas di Kalteng menggunakan bahan berbahaya tersebut dan membuang limbahnya langsung ke sungai.
Setiap tahun, tidak kurang dari 10 ton merkuri dibuang ke sungai-sungai di Kalteng. Tidak heran jika kemudian, dari 11 sungai besar di Kalteng, tujuh sungai di antaranya tercemar merkuri atau air raksa antara 0,002 dan 0,007 miligram (mg) per liter air. Ini jauh di atas ambang batas yang diizinkan, yakni 0,001 mg/liter. Akibat pencemaran sungai ini, selain mematikan berbagai biota sungai, juga sangat berbahaya jika airnya dikonsumsi masyarakat.
"Penggunaan air raksa di Kalteng sekarang sudah tidak terkendali lagi," kata Wakil Gubernur Kalteng Nahson Taway.
Di Kalimantan Barat, penambangan emas juga marak dilakukan di sejumlah sungai, seperti di Sungai Behe, Belantian, dan Sungai Landak di Kabupaten Landak. Bahkan, penambangan emas tanpa izin yang melibatkan pemodal-pemodal kuat juga mulai merambah Cagar Alam Mandor di Kabupaten Landak.
"Kami sangat kewalahan menangani penambangan emas liar," ungkap Wakil Bupati Landak Nocodemus Nehen.
Di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, upaya menertibkan penambangan emas liar sudah dilakukan. Namun, bukannya bertambah tertib, malahan kantor Bupati Kapuas Hulu Juli 2003 lalu dirusak massa yang berjumlah sekitar 500 orang-sebagian besar mereka penambang emas liar. Mereka memprotes penertiban itu dan meminta agar penambangan emas liar boleh dilanjutkan.
Di Kalimantan Timur, permasalahannya hampir sama dengan di Kalimantan Selatan, yakni penambangan batu bara telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang sangat parah. Bahkan, kini tujuh perusahaan penambangan batu bara telah diizinkan melakukan penambangan batu bara di kawasan hutan lindung Kalimantan Timur.
Padahal, tanpa penambangan di hutan lindung pun, kerusakan lingkungan yang disebabkan penambangan batu bara sudah sangat parah. Begitu batu bara berhasil dikuras dari perut bumi Kalimantan Timur, areal bekas penambangan batu bara dibiarkan telantar. Hanya sebagian kecil perusahaan pertambangan yang mau melakukan rehabilitasi lahan (reklamasi).
Setiap diajukan tuntutan untuk melakukan reklamasi atau rehabilitasi di areal bekas penambangan batu bara, perusahaan selalu menolak dengan dalih belum memiliki teknologi untuk merehabilitasi areal bekas pertambangan. Alasan lain yang kerap dikemukakan, biaya rehabilitasi sangat besar sehingga tidak cukup dana untuk melakukan rehabilitasi lahan.
Padahal, kalau pengusaha mau serius melakukan rehabilitasi lahan, sebagian hasil tambang bisa saja disisihkan untuk memelihara lingkungan. Ini sangat dimungkinkan karena dari produksi batu bara nasional selama ini, sekitar 52 persennya dihasilkan dari Kalimantan Timur dan 26 persen di antaranya dihasilkan dari Kalimantan Selatan.
Pada tahun 2000, misalnya, dari total produksi batu bara nasional yang mencapai 75,8 juta ton, Kaltim memberikan kontribusi 38,04 juta ton dan Kalsel 27,2 juta ton. Begitu pula pada tahun 2001, dari total produksi batu bara nasional yang mencapai 92,5 juta ton, sekitar 48,2 juta ton dihasilkan Kaltim dan 33,4 juta ton dari Kalsel.
Karena itu, keengganan pengusaha melakukan rehabilitasi areal bekas tambang, sebenarnya lebih disebabkan kalangan pengusaha tidak punya tanggung jawab moral untuk menjaga kelestarian lingkungan. Maka, tidak salah jika ada tudingan bahwa kegiatan pertambangan selama ini menyebabkan kerusakan lingkungan belaka.
Selasa, April 01, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar